Pada
tahun 1989, dunia seakan dibuat terkejut saat Pons-Feischmann
melaporkan penemuannya yang sangat kontroversial, yang kemudian disebut
dengan apa yang dikenal sebagai ‘cold fusion’. Hal ini cukup beralasan,
sebab apabila ini memang benar terjadi, maka batasan perhitungan
termodinamika klasik yang selama ini menjadi pegangan para ahli dan
ilmuwan telah berhasil dilampai dan akan menjadi suatu lompatan besar di
dalam dunia ilmu reaksi nuklir dan fusi.
Pada saat itu,
Pons-Feischman melaporkan adanya kelebihan (excess) energi panas pada
proses rekasi elektrolisa air berat deuterium pada sel palladium (Pd).
Produksi panas yang melebihi perhitungan ini di-klaim sebagai hasil
reaksi nuklir fusi. Efek yang ditimbulkan dari laporan ini benar-benar
berdampak besar. Dana puluhan milyar dollar amerika pun langsung
dikucurkan baik oleh lembaga pemerintah maupun lembaga riset untuk
melakukan pernelitian lanjutan tentang masalah ini.
Bantahan dan
dukungan tentang hasil penelitian ini pun muncul secara bersamaan. Tak
heran jika dalam Americal Physical Society meeting 1989 menjadi ajang
‘pertarungan’ para ahli untuk memperdebatkan masalah ini. Banyak yang
menyatakan bahwa fenomena reaksi nuklir fusi hanyalah khayalan dan
bentuk dari kesalahan analisis dari hasil percobaan. Dilain pihak,
sedikitnya 10 negara telah berhasil memperoleh energi ‘asing’ seperti
apa yang dilaporkan Pons-Feischman dalam berbagai penelitian yang mirip1.
Cold fusion?
‘Cold fusion’ diturunkan dari dua kata: cold (dingin) dan fusion (menyatu). Jadi proses cold fusion
adalah proses bersatu atau bergabungnya senyawa-senyawa kimia ringan
(nukleida) menjadi suatu yang lebih berat yang menghasilkan panas
sebagai produk reaksi. Satu hal yang membedakan antara cold fusion
dan reaksi nuklir fusi lainnya ada lah temperatur reaksi yang jauh
lebih rendah. Temperatur menjadi variable yang sangat penting untuk
keberlangsungan reaksi fusi. Dalam proses ionisasi (plasma) reaktan
(biasanya berupa nukleida isotop hidrogen, seperti: deuterium (2D) dan tritium (3T)),
dihasilkan nukleida-nukleida yang bermuatan sama sehingga cenderung
bertolakan satu dengan yang lainnya, yang dikenal sebagai gaya tolak
Coulomb. Pada jarak yang sangat dekat, nilai gaya tolak ini bias
mencapai puluhan ribu kilo Newton. Untuk memberikan energi yang cukup
yang dapat melampuai batasan gaya tolak Coulomb sehingga nukelida bisa
saling bertumbukan, biasanya dilakukan pemanasan hingga mencapai
temperatur 108 Kelvin (bayangkan suhu matahari yang ‘hanya’ 106 K). Jadi umumnya reaksi fusi dikenal sebagai ‘hot fusion’ atau ‘thermal fusion’.
Fenomena
yang menyimpang yaitu reaksi fusi pada temperatur rendah (mendekati
suhu ruang) inilah yang menjadi bahan perdebatan. Banyak yang tidak
mempercayai hasil penelitian dari Pons-Feischman dan menganggap
peristiwa ini sebagai ‘kesalahan’ belaka.
Pons-Feischman phenomena2
Lalu
apakah yang mendasari Pons-Feischman sehingga berani melaporkan sesuatu
yang berbau ‘kontroversial’. Ini tak lain dan tak bukan, dikarenakan
hasil penelitiannya yang tidak sesuai dengan kalkulasi teoritis.
Pons-Feischman melakukan eksperimen dengan mencelupkan batang paladium
(Pd) ke dalam deuterium (D2O) atau dikenal pula sebagai air
berat. Keseimbangan panas reaksi diukur dengan menggunakan kalorimeri.
Dengan menggunakan prinsip sel elektrokimia yang terhubung sebuah
baterai, jumlah energi yang tersuplai pada system dapat dihitung.
Sebagai contoh, apabila nilai arus diasumsikan sebesar 0.1 ampere dan
tegangan 12 V, maka akan diperoleh nilai hambatan (R) sebesar 120 ohm.
Pada kondisi ini, elektroda akan menerima energi sebesar 0.1´12´120 atau
72 joule. Sebagian besar dari energi yang diterima, akan digunakan
untuk memecah molekul deuterium (menjadi hidrogen dan oksigen) dan
sisanya di ubah menjadi panas. Dengan kata lain, laju panas yang
dihasilkan seharusnya kurang dari 72 joule. Tetapi Pons-Fleischmann
memperolah hasil yang sebaliknya. Jumlah panas ternyata tidak lebih
kecil dari 72 joule malahan jauh diatas (mencapai 20 kali) nilai energi
masuk. Lalu apakah yang terjadi?
Banyak penjelasan yang
disampaikan untuk menjelaskan fenomena ini. Hal ini dikarenakan
Pons-Feischman sendiri meyakini adanya reaksi nuklir fusi tanpa bukti
yang kuat.
Prof. Clarke dalam bukunya ‘Profiles of the Future’,
menyatakan bahwa kemungkinan adanya nuklir fusi itu masuk akal dengan
memunculkan istilah nuklir katalis sebagai jawaban tentang batasan
tolakan Coulomb3. Tetapi tidak dijelaskan senyawa apakah yang
bertindak sebagai katalis dalam peristiwa ini. Prinsip nuklir katalis
diyakini terjadi pada proses fusi matahari, dimana karbon dan nitrogen
memegang peran sebagai senyawa aktif-nya (catalytic site). Tidak juga
paladium (Pd) yang bertindak sebagai elektroda dan di dalam dunia reaksi
kimia dikenal sebagai bahan katalis, sebab ketika diganti dengan nikel
(Ni) yang dikenal pula sebagai logam katalis, fenomena diatas tidak
terjadi.
Pengukuran emisi partikel yang dihasilkan boleh dikatakan
menjadi jalan yang terbaik untuk membuktikan kebenaran terjadinya
reaksi nuklir fusi, karena saat itu, para ilmuwan hanya memperhitungkan
faktor perhitungan energi panas saja.
Reaksi-reaksi nuklir fusi yang sangat mungkin terjadi pada fasa ini adalah:
No. Reaksi Energi yang dilepaskan (MeV)
1. 2D + 2D à 3T + p 4.03
2. 2D + 2D à 3He + n 3.27
3. 2D + 2D à 4He + g 23.85
4. 2D + 2T à 4He + n 17.59
5. p + 2D à 3He + g 5.49
6. p + 3T à 4He + g 19.81
Reaksi
1 dan 2 disebut-sebut sebagai reaksi yang ber-‘tanggung jawab’ atas
terjadinya peningkatan energi panas yang ada. Banyak tanggapan yang
diberikan berkenaan dengan keberlangsungan reaksi. Dr. Michael McKubre
dalam laporannya kepada departemen energi USA, memaparkan adanya anomali
(keanehan) adanya phenomena baru fisik yang memungkinkan adanya reaksi
fusi: 2D + 2D à 4He + 23.85, meski dari pengukuran emisi, intensitas 4He
sangatlah kecil. Reaksi ke-3 merupakan reaksi fusi yang umum
berlangsung pada proses fusi panas (thermal fusion), dimana dihasilkan
partikel 4He dan pancaran sinar gamma (g). Berseberangan
dengan pendapat diatas dan bertitik tolak dari rendahnya intensitas
sinar g yang dihasilkan, muncullah konsep reaksi baru. Reaksi yang
berlangsung bukanlah DD reaction (2D+2D), melainkan HD reaction (2H+2D), dimana ini terjadi karena larutan D2O terkontaminasi oleh H2O.
Pada HD reaction, reaksi tidak menghasilkan sinar g, dan kelebihan
panas yang dihasilkan pun sangat kecil, tidaklah sebesar yang diperkiran
semula.
Dua hasil yang sangat berbeda diperoleh dari penelitian Claytor4 dan Storms5.
Jika Claytor melaporkan bahwa senyawa tritium berhasil diproduksi pada
system Pd-D tegangan rendah, maka Storms melapokan hal sebaliknya. Lebih
dari 250 sel elektrolit paladium dari berbagai jenis sumber dan lokasi
telah dicoba, tetapi hanya 13 sel yang memproduksi tritium. Itupun
dengan konsentrasi yang tidak signifikan untuk dikatakan bahwa telah
terjadi reaksi fusi tersebut.
Reaksi Fusi dingin
Hingga saat ini, telah dikenal beberapa jenis reaksi fusi dingin, seperti:
1.
Fusi berkatalis muon. Konsep reaksi fusi ini diperkenalkan oleh Steven
Jones sekitar tahun 1980. Proses reaksi berlangsung via pembentukan
muons (bermuatan sama dengan elektron tetapi memiliki massa 207´ lebih
berat). Dimana muon inilah yang merupakan wujud energi hasil reaksi.
Karena waktu hidup muon yang sangat singkat, maka hampir tidak mungkin
untuk mendapatkan energi tersimpan dari proses ini.
2. The
Farnsworth-Hirsch Fusor dikenal pula sebagai bentuk mikroskpis dari fusi
panas. Dalam proses fusi, dilakukan akselerasi nukleida-nukleida
reaktan sehingga berakibat naiknya temperature partikel, tetapi masih
jauh dibawah temperatur fusi panas. Proses ini merupakan proses fusi
yang murah, tetapi produksi panas yang dihasilkan tidaklah stabil.
3.
Fusi Antimatter-initialized. Reaksi fusi pada proses ini akan diawali
dengan ledakan kecil dan ledakan ini akan dikuatkan hingga mampu untuk
memulai proses tumbukan partikel. Mahalnya dan kompleksnya peralatan
pendukung menyebabkan proses ini tidak lagi dilirik sebagain sesuatu
yang menjanjikan untuk dikembangkan.
Terlepas dari pro dan kontra,
tidak ditutupi bahwa penelitian Pons-Feischmann memiliki keunggulan
dibandingkan dengan proses reaksi fusi sejenis sebelumnya baik dari segi
instrumentasi maupun teknis. Proses fusi panas masih terlalu berisiko
untuk dilaksanakan selain juga menghabiskan biaya yang mahal. Tidak
heran jika banyak ilmuwan menyatakan ketertarikannya untuk meneliti
proses ini lebih lanjut. Bisa anda bayangkan, jikalau benar, maka kita
akan bisa bepergian sejauh 100.000 mil hanya dengan berbekal 1 tangki
air!! Tak hanya itu, para ilmuwanpun akan juga turut dibuat pusing.
Francis F. Chen, pengarang buku proses fusi yang paling populer:
Introduction to Plasma Physics and Controlled Fusion, mengatakan bahwa
ia harus merevisi paling sedikit dua bab dalam bukunya jika fenomena
Pons-Feischmann ini benar-benar terjadi.
Jadi? Anda tertarik untuk membuktikan mana yang benar?
Referensi:
[1] Josephson, B.D., ‘Pathological Disbelief’, Lecture of Nobel Laurent’s meeting, Lindau, June 30th, 2004.
[2] Fleischmann, M., Pons, S., ‘Electrochemically induced nuclear fusion of deuterium’, J. Electroanal. Chem., 261 (1989), 301-308.
[3] Mallove, E., ‘Arthure C. Clarke: The Man Who “Predicted” Cold Fusion and Modern Alchemy’, Infinite Energy Mag., special edition, issue 1-45, p. 7.
0 komentar on "Cold Fusion, Antara Imajinasi dan Kenyataan"
Posting Komentar